ASIOTI: Tarif Impor Trump Berbahaya Bagi Digital Nasional
Kebijakan Tarif Impor Donald Trump dan Dampaknya Terhadap Infrastruktur Digital Indonesia
Pada awal April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang langsung menimbulkan gelombang kejut di pasar global, termasuk Indonesia. Kebijakan ini sangat penting untuk dianalisis karena diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap pembangunan infrastruktur digital nasional dan laju transformasi digital di seluruh Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI), Teguh Prasetya, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kebijakan proteksionis ini, yang diyakini tidak hanya memengaruhi pelaku industri, namun juga memperlambat pengembangan teknologi yang menjadi pilar transformasi digital Indonesia, seperti IoT, Cloud Computing, Big Data, AI, dan jaringan 5G.
Indonesia saat ini berada pada peringkat 103 dalam hal kecepatan internet, dengan rata-rata kecepatan mencapai 20,17 Mbps. Hal ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Brunei (peringkat 16), Singapura (peringkat 22), Malaysia (peringkat 46), Vietnam (peringkat 52), Thailand (peringkat 54), Laos (peringkat 68), Myanmar (peringkat 75), serta Filipina dan Kamboja (masing-masing peringkat 80 dan 96). Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu melakukan banyak perbaikan guna mengejar ketertinggalan dalam hal infrastruktur digital.
Pentingnya Infrastruktur Digital bagi Perekonomian Nasional
Infrastruktur digital, yang mencakup jaringan 5G, Fixed Wireless Access (FWA), dan sistem komunikasi satelit, memainkan peranan krusial dalam mendorong pemerataan ekonomi digital di seluruh wilayah, termasuk daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Dengan adanya infrastruktur yang kuat, diharapkan tercipta akses yang lebih luas terhadap potensi digital yang dimiliki Indonesia. Data Kementerian Perdagangan RI juga menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD14,34 miliar pada periode Januari-Desember 2024, yang mencerminkan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan melalui pengembangan infrastruktur digital yang lebih baik.
Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan kecepatan internet Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya:
| Negara | Peringkat Global | Kecepatan Internet (Mbps) |
|---|---|---|
| Brunei | 16 | 78.01 |
| Singapura | 22 | 69.28 |
| Malaysia | 46 | 50.58 |
| Vietnam | 52 | 46.16 |
| Thailand | 54 | 39.91 |
| Indonesia | 103 | 20.17 |
Data dari Speedtest Global Index menunjukkan bahwa posisi Indonesia dalam Global Broadband Index untuk kecepatan internet seluler masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Tanpa penguatan infrastruktur digital yang memadai, Indonesia akan semakin kesulitan untuk mengejar ketertinggalan dan mewujudkan visi sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Risiko Penurunan dalam Indeks Broadband Global
Teguh Prasetya mengingatkan bahwa jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, Indonesia berisiko mengalami penurunan posisi dalam indeks broadband global, yang saat ini sudah berada di bawah rata-rata negara-negara ASEAN. Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet, Indonesia sangat bergantung pada jaringan konektivitas yang luas dan berkualitas. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh AS langsung berdampak pada ketersediaan perangkat keras dan komponen teknologi yang crucial bagi pengembangan infrastruktur digital di Indonesia, mengingat bahwa sebagian besar masih mengandalkan rantai pasok global yang dipengaruhi oleh situasi internasional, termasuk dari Amerika Serikat dan mitra-mitra lainnya.
Selain itu, tensi geopolitik antara AS dan Tiongkok turut mempersulit akses terhadap teknologi canggih dari kedua belah pihak. Situasi ini memberikan tantangan tambahan bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan pembangunan teknologi nasional, karena sebagian besar solusi digital dan IoT di Indonesia sangat bergantung pada produk dari kedua negara tersebut.
Membangun Kemandirian Digital
Teguh Prasetya menegaskan bahwa kemandirian digital bukan berarti isolasi. Sebaliknya, hal ini menunjukkan kemampuan Indonesia untuk tetap terhubung dengan dunia sambil memperkuat fondasi teknologi domestik. Dengan adanya kebijakan tarif impor baru, pemerintah Indonesia diharapkan dapat melihat krisis ini sebagai momentum untuk membangun ketahanan digital nasional, yang mencakup penguatan infrastruktur, akses terhadap teknologi, serta pengembangan ekosistem digital yang lebih efektif.
Peluang dalam Keadaan Krisis
Menemukan solusi dalam situasi yang menantang, seperti kebijakan tarif impor ini, dapat menjadi peluang untuk merestrukturisasi industri digital Indonesia. ASIOTI tidak merekomendasikan penutupan impor dari Amerika Serikat, karena hal ini dapat menghambat akses Indonesia terhadap teknologi global yang penting untuk mendukung inovasi dan efisiensi nasional. Membangun kerjasama yang strategis dengan berbagai pihak dan membuka diri terhadap investasi asing juga sangat penting agar Indonesia tidak terkotak-kotak dalam pengembangan infrastrukturnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan inovatif dalam pembangunan infrastruktur digital Indonesia. Ke depannya, perhatian harus diberikan pada pengembangan infrastruktur yang tidak hanya berorientasi pada kota-kota besar, tetapi juga di daerah-daerah yang selama ini terabaikan.
Pembangunan infrastruktur digital yang merata akan memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat mengakses teknologi, yang pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Tentunya, era digital ini memberikan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan potensi yang dimiliki sebagai salah satu kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
✦ Tanya AI